Istri Yang Tak Diinginkan -->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Istri Yang Tak Diinginkan

Jumat, 30 September 2022 | September 30, 2022 WIB | 0 Views Last Updated 2022-10-01T03:15:44Z


 Huhf! Saqila membuang nafas lelah. Dari subuh tadi pekerjaannya tak kunjung selesai. Kadang dia merasa bukan menantu di rumah ini, lebih mirip pembantu.

Dia bersandar di sisi tempat tidur, meredakan penat. Menatap anak kecilnya yang sedang pulas. "Hm, sehat terus ya, Sayang," gumamnya.
Huh!

Dia cepat bangkit, menuju dapur, harus pintar memanfaatkan waktu di sela anaknya tidur.

"Eaaa...maaa...maaa." suara tangis anaknya memanggil, dengan sedikit kecewa dia menuju kamar.

"Koq, bobonya bentar nak? Kerjaan mamah masih banyak." Saqila memangku anaknya.

Hari sudah mau sore,  dia belum sempat masak. Hari ini Nisa rewel. Terbayang sudah kalau dia tak masak, suara rombeng mertuanya akan menggema diseluruh ruangan.
Segera dia kedapur sambil menggendong Nisa, bagaimanapun dia harus masak.  Tangannya bergerak kesana kemari sambil badannya berguncang, demi mendiamkan Nisa yang rewel.

"Kamu sakit ya, Sayang, koq hari ini rewel?" Dipegangnya dahi Nisa. Badannya cukup hangat, pantas saja dari pagi Nisa menangis saja.

Tertt!
Telepon genggamya bergetar.

[Qila, kamu lupa anterin uang arisan ibu? Itu bu Neli nanyain, kirain udah dianterin, di rumah kamu ngapain aja?]

Mertuanya mengomel. Duh ... kenapa bisa lupa. Saqila kesal sendiri.

[Iya, Bu. Qila anter sekarang.] Balasnya.
[Kebiasaan.] Mertuanya kesal.

Ditinggalkannya dapur yang berserakan, keluar menuju rumah bu Neli. Nisa masih dalam gendongan, dia merengek-rengek.

"Kirain nggak setor Qil." sambut bu Neli sambil membukakan pintu untuk Saqila dan mempersilakannya masuk.

"Tadi Qila lupa, Bu. Ini Nisa rewel," sahut Saqila, sambil menimang-nimang Nisa yang masih saja rewel.
"Kenapa, Nisa? Sakit ya?" tanya bu Neli penasaran.
"Agak panas badannya," jawab Saqila.
"Bawa ke dokter, Qil, jangan dibiarin." Nasehat bu Neli sambil menatap Saqila iba, perempuan itu tau bagaimana sikap bu Asih pada Saqila.

"Iya, Bu."

BACA JUGA: Mantan Suamiku

Saqila tersenyum, lalu pamit pulang.
Bagaimana dia bisa membawa Nisa ke dokter, uang yang diberikan mertuanya hanya cukup untuk membeli sayur dan lauk, itupun dia harus pintar-pintar mengatur. Dia tak bisa menabung, karena memang semua sudah di pas. Terpaksa dia harus menunggu suaminya pulang.

Tiid...!

"Qila!" ada suara memanggilnya. Saqila menoleh, dia agak mengkerutkan kening mengingat siapa yang memanggilnya. Oh, dia baru ingat.

"Eh? Iwan?"

Padahal Iwan sudah dia kenal sejak lama, tapi saking banyaknya yang dia pikirkan, sampai dia lupa.

"Apa kabar, Qila?" tanya pemuda itu tersenyum pada Saqila, ada rasa yang tak dapat lelaki itu ungkapkan bisa bertemu perempun yang selama ini di carinya.

"Baik, Wan," jawab Saqila. Dia tersenyum. Sama gembiranya, ingin sebenarnya Saqila berlama-lama bertanya kabar, sudah sangat lama mereka tak bertemu, tapi tak ada waktu.

Iwan memandangnya lekat, ada rasa rindu pada sahabat yang pernah dia sukai diam-diam itu. Lama dia tak bertemu, sekalinya bertemu terlihat banyak perubahan pada diri Saqila. Wajah cantik Saqila yang dulu, sudah hilang. Sekarang badanya terlihat kurus, mukanya kusam tak terurus.
Hanya senyum Saqila yang masih terlihat sama.

[Qila. Ah, aku rindu. Hatin Iwan berkecamuk.]

"Kamu darimana, mau kemana, Wan?" Saqila bertanya.
"Lagi nyari alamat temen, Qil. Pas tadi kamu lewat tadi, aku  seperti kenal, pengen memastikan, makanya aku tunggu di sini, ternyata benar itu kamu," jelas Iwan. Pandangannya tak lepas dari Saqila.
"Oh, ya udah ya. Aku pulang dulu," pamit Saqila buru-buru.

Saqila teringat di rumah belum masak. Orang rumah akan segera pulang. Apa kata orang pula kalau orang melihat dia sedang mengobrol dengan lelaki lain, dia sudah bersuami.

"Rumah kamu mana, Qila?"

Iwan masih penasaran, seolah dia tak ingin berpisah dengan teman masa kecilnya.

"Itu di depan, cat merah."
"Aku minta nomor kamu, Qila,"  pinta Iwan.

Ragu-ragu Saqila memberikannya, tapi dia pun tak bisa menolak. Ah. Bagaimana kalau suaminya tau, Saqila bimbang.

"Makasih ya Qila," Iwan tersenyum.

Motor Iwan melaju, berlalu pergi meninggalkan Saqila yang memandang punggungnya, menghilang.
***

BACA JUGA: My Boss... I Love U

Nisa benar-benar rewel, sulit bagi Saqila memasak dengan keadaan seperti itu. Sudah segala cara dia lakukan agar anaknya itu tak menangis.

Wahyu pulang, mendengar suara Nisa yang menangis kejer, dia merasa kesal. Bekerja di toko seharian, di rumah dia disambut dengan tangisan anak kecil.
Ah. Ingin saja dia memaki istrinya.
Wahyu bergegas menuju kamarnya, tubuhnya lelah. Dia menganggap bahwa Saqila tak mampu menjaga anak.

Melihat suaminya datang, segera Saqila menyusul menuju kamar. Dia ingin meminta tolong suaminya itu, dia takut mertuanya marah jika tak sempat memasak.

"Ka, Qila nitip Nisa ya. Qila belum masak," pintanya ragu-ragu.
"Kamu nggak punya mata ya, Qil? Suami pulang kerja bukanya di tawarin minum, malah suruh jaga anak. Kamu ngapain aja di rumah, hah? Baru punya anak satu aja sampai nggak sempat masak," marah Wahyu meledak juga akhirnya.

Memang Saqila hanya mengurus anak satu, tapi seluruh pekejaan di rumah Saqila yang pegang, kepasar, memasak, antar jemput Naila adik Wahyu sekolah. Tetap saja dia dibilang tak ada kerja, hanya karena tak memiliki penghasilan.

"Udah sana, aku capek," usir  Wahyu pada Saqila.

Lunglai Saqila menuju dapur.

[Ah. Kenapa di rumah ini tak ada yang peduli padaku?] Batinnya memelas.
***

Di dapur Nisa menangis berterusan, sangat sulit menenangkan anak kecilnya itu. Tak biasa Nisa begini. Tak mungkin juga dia bisa masak dengan keadaan Nisa begitu.
Terpaksa dia ke kamar untuk memberikan asi. Namun Nisa menolak dan terus menangis.

Wahyu yang berbaring di tempat tidur tetap saja diam, tak peduli dengan istrinya yang kerepotan menghentikan tangisan Nisa. Dia asik dengan gawainya, dengan dunianya. Seolah Saqila tak pernah wujud.

"Kak, Qila minta uang, buat bawa Nisa ke dokter.  Sepertinya Nisa demam, dari pagi rewel terus."

Saqila mencoba mengajak bicara suaminya itu. Wahyu yang di ajak bicara tak menyahut, masih asik dengan benda kotak pipih di tangannya.

"Kak?"

Saqila mengguncang kaki suaminya.

"Kenapa sih aku nggak bisa tenang di rumah ini? Ada saja yang ganggu, aku cape Qil mau istirahat," bentak Wahyu.
"Coba kamu kalau dikasih uang sama ibu tu diirit, jangan suka-suka kamu habiskan sampai nggak bisa nabung sedikit untuk hal seperti ini, kamu bisa nggak menghasilkan uang? jangan  pinter minta aja. Punya istri koq bisanya nyusahin," Omel wahyu yang merasa tak tahan dengan sikap Saqila.
"Astagfirullah." Hati Saqila perih, matanya panas menahan air dipelupuk matanya yang sudah tak terbendung.
***

Sementara di ruang makan, mertuanya sedang mengomel, merasa cape pulang kerja tapi di rumah tak ada makanan yang terhidang seperti biasa.

"Si Qila ngapain aja sih di rumah, sampai nggak sempat masak?" Marah bu Asih.

Dia kesal Ketika ke dapur tak ada makanan di meja, dia lapar.

"Punya mantu koq malas sekali, sudah enak tinggal di rumah ini, tapi tak tau terima kasih," omelnya lagi.
"Rumah nggak usah ngontrak, uang belanja dikasih. Kurang apa coba?"
"Terus apa fungsinya dia di sini, kalau untuk mengurus rumah segini aja nggak becus." Bu Asih masih mengoceh. Suaranya sengaja di keraskan.

Pak Hilman hanya menggeleng melihat istrinya marah-marah. Dia sudah bosan mendengarnya, tiap hari ada saja yang istrinya keluhkan.

"Bapak juga diam-diam aja, harusnya bapak dulu bisa larang, waktu Wahyu mau melamar si Qila itu," celetuk bu Asih mulai mencari jalan pertengkaran.
"Lho, koq bapak?" sahut pak Hilman. Pandangannya tak berpaling dari koran yang  dipegangnya.

"Iya. Memang harus salahkan siapa lagi, sudah tau dari dulu ibu tak setuju," ungkit bu Asih.

Pak Hilman memilih bangkit, pergi ke kamarnya, daripada melayani ocehan istrinya yang tak berhenti.

==========

BACA JUGA: Sekeping CInta Menunggu Purnama

Nisa sudah tak rewel lagi, anak itu sudah tertidur pulas. Entah kenapa Saqila merasa hidupnya kurang beruntung melihat keadaannya sekarang. Dielusnya tubuh Nisa dengan lembut. Tadi  sebelum tidur Saqila memberikanya obat demam yang dia beli dari warung, cuma itu yang bisa dia lakukan untuk Nisa.

Nisa sekarang berumur 20 bulan, tapi tumbuh kembangnya terbilang lambat. Di umurnya yang sekarang Nisa belum bisa jalan maupun berdiri hanya duduk dan merangkak, itupun tak lama, karena Nisa sering menangis jadi harus selalu digendong.

Nisa tak anteng seperti anak lain. Mertuanya sering menyalahkanya, katanya Saqila tak bisa mengurus anak.
Kebanyakan batita di usia Nisa biasanya sudah bawel dan bisa mengucapkan sepatah dua patah kata, memanggil mama dan papa. Berbeda degan Nisa yang hanya bisa menangis jika ada yang dia inginkan atau lapar.
Pun begitu, Saqila sangat menyayanginya, dialah pelipur segala lara yang di dirasakan Saqila. Dia tempat Saqila berkeluh kesah, dialah tempat Saqila berbagi kesedihan. Ingin sekali Saqila mencukupi segala kebutuhan anaknya itu, tapi mau bagaimana keadaan tak berpihak padanya. Pernah Saqila meminta uang khusus untuk kebutuhan Nisa tapi selalu ditolak.

"Bu, Saqila bisa minta uang lebih nggak?" pinta Saqila ragu-ragu pada mertuanya.
"Uang lebih? Buat apa?" sahut mertuanya.
"Qila mau bikin MP asi buat Nisa, mau yang alami di masak sendiri."
"Kan, itu sudah ada yang instant dari supermarket, sama aja kok, itukan juga pendamping asi," ketus mertuanya.

Ah. Tiap kali ada yang Saqila inginkan, walaupun itu untuk anaknya, mertuanya selalu saja begitu, mengelak dan menolak. Ketika dibicarakan dengan suaminya, jawabannya sama saja.
***

"Qila ...!" suara dari luar kamarnya memanggil. Saqila yang hendak terlelap itu pun terpaksa bangun dan menghampiri suara itu berasal.
Saqila  membuka pintu. "Ada apa, Bu?" tanya Saqila sambil mengusap wajah.
"Nih ... tolong setrika baju Nadia dan Naila untuk sekolah besok, kalau di setrikanya pagi takut nggak sempat," perintah mertuanya.

Diraihnya baju-baju itu, Saqila menoleh melihat suaminya yang masih saja mengutak-ngatik gawainya.
Huh! Nafasnya berat, tubuhnya lelah.

Selesai menyetrika Saqila menuju dapur, di sana sudah ada beberapa piring kotor. Gesit dia membersihkannya, sebelum tidur jangan ada perabotan yang kotor, agar tak menjadi sarang kecoa dan tikus. Setelah semua selesai Saqila menuju kamar, dia sudah ngantuk lelah.

Tring!
Suara pesan masuk di telepon genggamnya, di lihatnya dari nomor yang tak dikenal.

[Qila, ini nomor aku, Iwan.]

Mata sakila melotot, segera dia hapus pesan itu. Ditekan nya silent mode, hawatir suami yang berada di sebelahnya mendengar.

Tak lama, gawainya itu kedap kedip tanda ada  panggilan masuk, cepat-cepat dia geser 'tolak'. Hatinya mulai tak karuan, dia tak ingin suaminya curiga. Ingin ditekannya tulisan 'hapus', tapi tak jadi.
Hm... mana tau suatu hari nanti dia membutuhkan bantuan Iwan. Nomor Iwan di simpannya, diberi nama 'IBU'. Segera Saqila mematikan teleponnya, lalu tidur memeluk Nisa.

Wahyu yang tadi mendengar ada suara pesan masuk, merasa penasaran. Tadi dia sengaja pura-pura tak tau. Dilihat istrinya itu sudah lelap, diraihnya gawai Saqila. Koq, dimatikan?
Wahyu merasa heran. Ditekannya tombol on, setelah mode siap diubeknya telepon istrinya itu. Namun tak ada yang dia temukan, dia yakin tadi mendengar suara pesan masuk dari gawai Saqila. Ya, sudah lah. Wahyu kembali meletakan gawai istrinya di tempat asal.

BACA JUGA: Pengantin Pengganti

Ditatapnya Saqila, ada rasa bersalah di hatinya. Entah kenapa akhir-akhir ini dia ingin selalu marah pada Saqila. Ketika Saqila tidur pulas, wahyu merasa kasihan pada istrinya itu, tapi aneh di siang hari Wahyu selalu saja merasa kesal pada Saqila. Apalagi kalau ibunya sudah mengadu, makin kesal Wahyu pada istrinya.

"Maafkan kakak ya, Qila. kakak selalu marah-marah nggak karuan, selalu bikin kamu sedih. Kakak harap kamu ngerti, kakak masih sayang kamu," bisiknya pada Saqila sambil pengusap dan mencium rambut istrinya itu.
***

Jam empat pagi Saqila sudah bangun, dia harus bangun lebih pagi dari anaknya. Dirabanya tubuh anaknya itu, sudah tak panas. Wahyu masih tidur memeluknya, perlahan Saqila menggeser tangan suaminya, lalu menuju dapur.
Di dapur sudah banyak piring dan gelas kotor, padahal sebelum tidur Saqila sudah membereskannya. Memang sudah biasa seperti itu, ketika Saqila tidur mertua dan anaknya menonton tivi hingga larut malam sambil ngemil.
Tangan Saqila gesit membersihkan dapur, tak perlu lama untuk mencuci piring dan gelas, segera diraihnya penanak nasi dan mencuci beras. Ketika tombol 'cook' sudah di tekan, Saqila bergegas mengambil air wudhu untuk shalat subuh.

"Kak... bangun, Kak. Udah subuh." Diguncangnya tubuh suaminya itu.
"Mm." hanya itu jawaban Wahyu.

Selesai salat segera dia ke dapur untuk membuat sarapan. Hari ini Saqila ingin membuat bakwan jagung dan sayur sop, selang berapa lama masakannya sudah siap. Terdengar suara Nisa menangis tanda anaknya itu sudah bangun.
Alhamdulillah... ketika anaknya bangun di dapur sudah beres.

Seperti biasa semua penghuni rumah sudah bangun, mereka sarapan dan pergi bekerja. Wahyu dan ibunya bekerja menjaga toko beras.
Sementara pak Hilman bekerja dipabrik beras milik keluarga mereka, Nadia adik Wahyu sekolah SMA dan Naila sekolah dasar. Hari ini Naila masuk bagian siang, jadi Saqila yang harus mengantar jemput.

Setelah semua tak ada  di rumah tinggal Saqila, Naila dan anaknya saja. Segera dia mandikan dan menyuapi Nisa lalu berangkat mengantar Naila. Setelah mengantar Naila, Saqila harus beres-beres rumah dan sore harus memasak.

Sesibuk itu hari-hari Saqila, tapi mertua dan  suaminya selalu berkata Saqila tak punya kerja, hanya karena Saqila tak bisa menghasilkan uang semua yang di kerjakannya tak ada artinya bagi keluarga Wahyu, hal itu dianggap biasa yang wajar dan seharusnya dilakukan seorang istri.

***

BACA JUGA: Gadis Alim Yang Terjerumus

Saqila bergegas membeli sayur dan keperluan dapur untuk hari ini, Nisa tak jauh dari gendongannya. Hari ini anaknya tidur begitu lelap, Saqila merasa senang anaknya itu tak rewel, dia bisa melakukan pekerjaan rumah dengan tenang. Ditidurkanya Nisa, dia bergegas untuk cuci mencuci dan membereskan yang belum beres.

Hari sudah siang, sudah waktunya Saqila menjemput Naila. Namun ada yang aneh, kenapa Nisa begitu nyenyak tidur, biasanya tak begitu. Ketika membersihkan rumah, beberapa menit sekali Saqila selalu melihat anaknya yang sedang tidur tapi Nisa tetap nyenyak.
Dihampirinya Nisa yang sedang tidur, betapa kagetnya Saqila ketika melihat anaknya itu. Tubuh Nisa terlihat kaku dan dingin, badannya terlihat membiru.
Panik Saqila menjerit melihat anaknya begitu, di raihnya telepon dan memanggil suaminya tapi tak ada yang mengangkat panggilannya.
Dipencetnya terus nomor suami dan mertuanya, tetap tak ada jawaban. Saqila mengirimkan pesan, lalu bergegas menuju klinik.

"Nisa, kamu kenapa, Nak. Bangun sayang ini mamah," gumamnya pada Nisa. Tak henti dia menangis, takut terjadi apa-apa dengan Nisa.

Sesampainya di klinik, Nisa di tangani dokter. Saqila tetap berusaha menghubungi suaminya, tapi tetap tak ada jawaban. Dokter memberitahu Saqila agar membawa Nisa ke rumah sakit besar, ada masalah dengan organ dalamnya. Harus diperiksa lebih menyeluruh oleh rumah sakit, karena di klinik tak tersedia alat-alat itu.

"Hah? Nisa...!" pekik Saqila, ia tersungkur, pikirannya tak karuan entah apa yang harus dia lakukan.

Ambulance membawa Nisa menuju rumah sakit, Nisa segera di ditangani di sana.
Saqila menunggu dengan cemas, pikirannya buntu. Suami dan mertuanya sama sekali belum menelponnya, padahal Saqila sudah mengirim pesan. Ya...memang mereka sibuk bekerja, tak bisakah untuk hari ini mereka berada  didekat Saqila? Berada di sisi Nisa, tak bisakah?
***

BACA JUGA: Purnama Dibalik Awan

"Maaf bu, ketika Nisa dibawa ke sini keadaannya sudah parah, ada masalah dengan paru-paru anak ibu dan dia koma. Sekarang hanya bisa bersabar dan semoga ada keajaiban," kata dokter pada Saqila. Lalu pergi meninggalkannya yang kebingungan.

Dihampirinya anak kecil itu, Nisa tak berdaya dengan segala selang dipasang di tubuhnya.

"Ya Allah Nisa..!" Saqila meraung memeluk anaknya. Ingin rasanya dia memaki Wahyu, kenapa di saat seperti ini Wahyu tak ada di sisinya.

Suara telepon berbunyi, Saqila berharap itu Wahyu atau mertuanya. Namun nama yang tertera di sana adalah 'IBU', itu nama nomor Iwan. Diangkatnya telepon dari lelaki itu, Saqila berusaha tenang.

"Iya...halo."
"Qila, kamu di mana, aku di depan rumah kamu, tapi rumah kosong nggak ada orang, bapakku panen ayam hari ini, aku bawa sedikit untuk kamu." Suara Iwan dari telepon.
"Hik ... hik...."

Hanya suara isakan yang Iwan dengar.

"Qil. Saqila, kamu kenapa? Koq nangis kenapa, Qila?" tanya iwan heran.
"Ni-Nisa sakit Wan, aku di rumah sakit, Nisa dirawat." Akhirnya tangis Saqila pecah juga, ingin dia melepaskan semua ksedihannya saat ini.
"Hah...! anakmu sakit? Kamu di sana sama siapa?" tanya Iwan lagi.
"Sendiri," jawab Saqila.
"Ya sudah aku nyusul ke sana sekarang, kamu SMSkan alamat ruangan tempat anakmu di rawat. Kamu yang sabar, Qila."

Segera Iwan memacu motornya ke rumah sakit menemui Saqila.
Saqila sendiri? Lalu suami dan mertuanya kemana?

Bersambung #2

Baca Sambungannya Disini Part #2

×
Berita Terbaru Update